MALANG | Safari keling Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur, 18 - 21 Desember 2021, dilakukan Tim GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang dipandu Wowok Prastowo telah menghantar Eko Sriyantò Galgendu memberi paparan pada Acara Dialog Sambung Rasa Antar Umat Beragama (FKUB) di Vihara Buddha Ratana Desa Ampel Gading, Tirtoyudo, Malang, Jawa Timur pada 20 Desember 2021.
Serangkaian acara penanda purna pugar Vihara Buddha Ratana ini berlangsung selama lima hari 17-21 Desember 2021 dengan acara puncak dialog hingga tengah malam bersama nara sumber utama Eko Sriyanto Galgendu dan Bhiku Damma Subbho Mahathera yang dimoderatori KRPA. Sutrimo Reksobudoyo.
Hadir diantaranya Bhiku Jaya Medo selaku pemegang otoritas untuk ummat Buddha se Jawa Timur berikut sejumlah cantrik-cantriknya serta Yuli Rianto dari Kelompkk Kerja Budi Lelampah (Pokjaluh) Malang Raya.
Seusai Banthe Sirimatano Mahathera menyambut para tamu yang berdatangan dari berbagai pelosok tanah air, seperti rombongan khusus dari Bali, decara khusus dia mempersilahkan pada semua hadirin untuk bersantap malam bersama.
Panca Menggala Dewasa selama lima hari berturut-turut, semacam bentuk tirakat yang dibacakan tanpa henti, menjadi bagian dari acara ritual pembacaan kidung yang sakral, hingga menyempurnakan acara pembacaan parita semacam salawatan dalam tradisi umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai illahiah, bahkan puja dan puji kepada Yang Maha Pencipta dengan segenap cinta dan kasih serta kemurahan hati dilantunkan juga.
Panca Manggala Dewasa dengan ragam kegiatan ini digelar sebagai penanda purna pugar Vihara Buddha Ratana yang sudah dilakukan sejak 11 tahun silam itu, ungkap Banthe Siriratano Mahathera, saat menemani Tim GMRI menikmati makan malam bersama.
Keberadaan agama yang dianggap bukan indikator dari laku spiritual yang sempat terlontar dalam forum diskusi justru tak sempat digubris oleh kedua pembicara yang membedah tentang seni tetembungan itu sesungguhnya berbeda dengan tembang. Tetapi, tembung dan tembang itu sebagai tradisi lisan yang memiliki diksi, intonasi dan artikulasi yang patut diindahkan, tandas Banthe Damma Subbho Mahathera dengan gaya dan tampilannya yang kocak dan jenaka. Bahkan parita itu telah hidup subur dalam budaya Buddha yang dipahami sebagai mantra, katanya.
Ikhwal tembang Dandang Gula itu sendiri, kata Banthe Damma Subbho telah menjadi bagian dari sejumlah ciri yang menandai keberadaan dari Budaya Buddha di Nusantara. Karena itu dalam pemahaman Buddha, seni itu menjadi bagian dari ukuran bagi martabat suatu bangsa. Dan ciri khas dari seni dalam budaya Buddha itu seperti rulung, jadi tidak meruncing sifatnya.
Eko Sriyanto Galgendu, sebagai pelaku dan salah seorang pemimpin spiritual Indonesia
Justru menangkap isyarat alam, mengapa pembicaraan yang serius ini bisa dilakukan di lereng Gunung Semeru yang baru saja mengungkapkan amarahnya. Sebab bagi Eko Sriyanto Galgendu yang mampu membaca ayat-ayat bumi, acara ini pun sebagai isyarat dari apa yang hendak dikatakan oleh Gunung Semeru, agar para Dewa segera turun untuk ikut menyelesaikan masalah bangsa dan negara kita yang sedang berada di tubir kehancuran.
Antusiasnya pemimpin spiritual Indonesia ini hadir pada setiap acara di Vihara Buddha manapun, diakuinya sebagai bentuk terima kasih untuk membalas jasa seorang Bhikku yang telah ikut menjadi bagian dari para tokoh pendorong gerakan kebangkitan kesadadan dan pemahaman spiritual bagi bangsa Indonesia sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi krisis kebangsaan yang berinti pokok pada etika, moral dan akhlak, tandas Eko Sriyanto
Galgendu dengan wajah bergembira, karena merasa telah mendapat dukungan besar dari berbagai pihak, termasuk kaum intelektual bahkan dari kalangan akademisi setingkat profesor yang lebih peka merasakan adanya ancaman terhadap bangsa dan negara yang tengah membahayakan kehidupan bangsa dan kelangsungan negara Indonesia.
Karena itu, kebangkitan serta kesadaran spiritual bangsa Indonesia meripakan pilihan yang jitu untuk mengatasi semua masalah bangsa dan negara Indonesia, bukan dengan cara politik maupu cara ekonomi, karena justru penyebab dari keambrukan bangsa dan negara ini akibat dari keculasan para politisi dan ekonom yang tidak berakhlak, tidak bermoral dan tidak memiliki etika budaya yang seharusnya wajib untuk memuliakan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna di muka bumi, tandas Eko Sriyanto Galgendu yang juga menjabat Ketua Forum Lintas Agama di Indonesia.
Yang tak kalah penting, menurut dia, GMRI telah menemukan titik temu dalam arti filisofis sebagai wujud pergerakan dari kesadaran kebangkitan dan pemahaman spiritua pada rentang perjalanan Tim GMRI kali ini yang dimulai ziarah ke Makam Gus Dus selaku penggagas dan pendiri GMRI.
Ibu Hajjah Farida Solahuddin Wahid di Pesantren Tebuireng telah berkenan menerima silaturrachmi Tim GMRI sehingga jalan lapang bagi GMRI pun diterima para kerabat GMRI Jombang sambil menikmati makan siang di kediaman Adi Wiyono, pada hari Minggu, 19 Desember 2021, bersama Imam dan Yani Arifin serta kerabat serta simpatisan GMRI lainnya.
Sedangkan di Malang Raya, Tim GMRI disambut oleh KRPH. Sutrimo Reksobudoyo untuk kemudian mengadakan acara dialog tentang GNRI dengan segenap proram yang akan segera diwujudkan dalam bentuk safari budaya yang akan terus diperluas hingga menjadi gerakan yang massif agar bisa segera melahir pemimpin spiritual dari berbagai latar belakang suku, agama, disiplin ilmu yang beragam maupun bidang pekerjaan dengan segenap potensi bangsa Indonesia yang sangat besar sumber daya manusia serta budaya dengan segenap warisan leluhur yang adi luhung.
Begitulah titik temu yang telah ditemukan GMRI dalam budaga Buddha dalam perjalanan safari kali ini, dari Barat menuju ke Timur. Hingga kemudian dapat dipastikan akan melintas pada titik silang antara Utata dan Selatan. Atau sebaliknya.
Malang - Jakarta, 19-21 Desember 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar